Mengairahkan Pembelajaran Sejarah dengan Contextual Teaching & Learning

  Pengetahuan masa lampau mengandung nilai-nilai kearifan yang dapat digunakan untuk melatih kecerdasan, membentuk sikap, watak, dan kepribadian peserta didik. Mata pelajaran sejarah memiliki arti strategis dalam pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam pembentukan manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air (Aman, 2011). Melalui sejarah dapat dikembangkan nilai-nilai dan kecakapan bagi peserta didik, berupa nilai-nilai tanggung jawab, kemandirian, demokratis, patriotisme, dan nasionalisme (Wiriaatmaja, 2002).

Sejarah tidak sekedar serangkaian peristiwa yang mandegdan hanya menjadi cerita pelipur lara. Sejarah juga bukan hanya cerita pembangkit semangat untuk “kebesaran diri”, melainkan lebih dari itu, sejarah terjadi dalam “suatu lingkaran waktu yang satu”, yang selalu bergerak tanpa henti. Waktu dapat dikatakan selalu berada dalam kekinian dan dalam kekiniannya yang selalu bergerak itulah waktu dapat terbagi menjadi tiga masa: yaitu waktu kini masa lampau, waktu kini sekarang, dan waktu kini yang akan datang (Gonggong, 1996).

Mempelajari sejarah memiliki kegunaan yang  penting  bagi  kehidupan manusia. Cicero (106 – 43 SM), seorang politikus dari Romawi mengatakan “Historia Magistra Vitae” artinya sejarah adalah guru kehidupan. John Seeley (1834 – 1895) sejarawan termashur dari Inggris mengungkapkan “we study history, so that we may be wise before event”. Reiner (1961) mengatakan bahwa pengalaman yang dimaknainya memiliki arti penting bagi kehidupan manusia, baik itu pengalaman individu maupun pengalaman kolektif. Dalam bahasa yang hampir sama, F.R. Ankersmit (1984) menyatakan bahwa dengan mengetahui kelakuan obyektif dari manusia masa lampau (cognitio historica) maka sejarah berfungsi sebagai guru mengenai kehidupan (historia magistravitae). Dengan mengembangkan peristiwa-peristiwa masa silam, akan didapatkan ajaran-ajaran praktis sehingga sejarah akan bermakna sebagai pedoman bagi masa kini dan masa yang akan datang.

Namun dalam kenyataannya, pelajaran sejarah kurang diminati oleh peserta didik. Pelajaran sejarah sering dianggap sebagai pelajaran hafalan yang membosankan. Pelajaran sejarah dianggap tidak lebih dari rangkaian angka tahun, tokoh, dan urutan peristiwa yang harus diingat kemudian dikemukakan kembali pada saat menjawab soal-soal ujian. Pembelajaran sejarah yang terjadi selama ini dirasakan kering dan berjalan tanpa makna. Banyak peserta didik yang beranggapan bahwa pelajaran sejarah tidak membawa manfaat karena kajiannya adalah masa lampau. Tidak memiliki sumbangan yang berarti bagi dinamika kehidupannya (Aman, 2011). Padahal seharusnya pelajaran sejarah banyak mengajarkan nilai yang ditulis dengan perspektif yang berbeda sehingga membuka peluang adanya pemecahan masalah dan intepretasi (Okolo, 2007).

Stopsky dan Sharon Lee (1994) memberikan kritik terhadap kelemahan pembelajaran sejarah: 1) mata pelajaran yang hanya berisi fakta, nama, dan peristiwa masa lalu; 2) mata pelajaran yang membosankan; 3) tidak ada kontribusi bagi masyarakat karena hanya membicarakan masa lalu; 4) pembelajaran hanya bersumber pada buku teks; 5) guru tidak dapat membelajarkan keterampilan berpikir; dan 6) guru cenderung berasumsi bahwa tugas guru adalah memindahkan pengetahuan dan keterampilannya kepada siswa secara utuh. Dadang Supardan (2001) menyimpulkan bahwa kreativitas guru sejarah di lapangan masih sangat rendah sehingga perlu ditingkatkan. Said Hamid Hasan (2010) menyatakan bahwa kenyataan yang ada sekarang, pembelajaran sejarah jauh dari harapan untuk memungkinkan peserta didik melihat relevansinya dengan kehidupan masa kini dan masa depan. Di  jenjang sekolah dasar  sampai dengan sekolah menengah, pembelajaran sejarah cenderung hanya memanfaatkan fakta sejarah sebagai materi utama. Pendidikan sejarah di sekolah masih berkutat pada pendekatan chronicle dan cenderung menuntut peserta didik agar menghafal suatu peristiwa. Peserta didik tidak dibiasakan untuk mengartikan suatu peristiwa untuk memahami dinamika suatu perubahan.

Dalam proses pembelajaran sejarah, peserta didik tidak sekedar menguasai materi ajar, tetapi diharapkan dapat membantu mematangkan kepribadian peserta didik agar mampu merespon dan beradaptasi dengan perkembangan sosio kebangsaan yang semakin kompleks (Walsh, 1967). Menurut Taufik Abdullah (1996) pembelajaran sejarah bukanlah rentetan peristiwa yang kering dan partikularistik, yang berhenti pada berada dirinya, seakan-akan partikel-partikel masing-masing dalam kevakuman. Sejarah tidak dapat ditampilkan sebagai rentetan “satu peristiwa yang diikuti peristiwa lain”. Sebagai pelajaran, pembelajaran sejarah yang merupakan wacana intelektual harus menampilkan diri sebagai seni yang memberikan kenikmatan intelektual. Seni sebagai mode of discourse terpantul dalam sistematika penyajian kisah dan gaya bahasa serta rasionalitas dalam pengajuan keterangan peristiwa.

Hill (1956), merekomendasikan bahwa seorang pengajar sejarah seharusnya memiliki pengetahuan yang luas mengenai masalah-masalah kemanusia dan kebudayaan, serta sebagai pengabdi perubahan dan kebenaran. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari belajar sejarah, dimana materi pembelajaran sejarah berhubungan erat dengan manusia dan permasalahannya. Tanpa menghubungkan dengan masalah-masalah kemanusiaan, maka pembelajaran sejarah akan menjadi media penyampaian informasi yang kering dan tidak bermakna. Oleh karena itu, pengajaran sejarah harus mampu mendorong peserta didik untuk berfikir kritis-analitis dalam memanfaatkan pengetahuan tentang masa lampau untuk memahami kehidupan masa kini dan yang akan datang, mengembangkan kemampuan intelektual dan ketrampilan untuk memahami proses perubahan dan keberlanjutan; dan berfungsi sebagai sarana untuk menanamkan kesadaran akan adanya perubahan dalam kehidupan masyarakat melalui dimensi waktu (Suryo, 2005).

 Namun demikian sistem pembelajaran sejarah yang dikembangkan di sekolah-sekolah masih banyak menerapkan pola pendidikan tradisional yang bertumpu pada teori belajar behavioristik. Di samping itu dalam praktiknya, proses pembelajaran sejarah di sekolah tampak lebih cenderung menekankan pada pencapaian perubahan aspek kognitif, yang dilaksanakan melalui berbagai bentuk model, pende-katan, dan strategi pembelajaran tertentu. Hal itu sejalan dengan pengemasan pembelajaran dewasa ini yang masih didasarkan pada asumsi-asumsi yang tidak sejalan dengan hakekat belajar dan pembelajaran (Degeng, 1998). Dunia belajar didekati dengan paradigma yang tidak mampu menggambarkan hakekat belajar dan pembelajaran secara komprehensif, lebih-lebih pembelajaran dalam menghadapi abad XXI yang sering sebut sebagai abad pengetahuan.

Pada abad ini, kehidupan menuntut kemampuan  memecahkan  masalah baru secara inovatif, pola perilaku yang unik dan divergen, dan kemampuan kerjasama yang bersinergi dengan sesamanya (Ardhana, 2000). Namun, pengemasan pembelajaran selama ini belum sepenuhnya mengarah kepada kemampuan-kemampuan yang diharapkan tersebut. Kemasan pembelajaran yang sering ditemukan hanya menitikberatkan pada tuntutan kemampuan hafalan, memecahkan masalah lama, penanaman pola perilaku yang konfrontatif dan seragam dengan pola pembelajaran bernuansa kompetitif dan persaingan (Ardhana, 2000).

Pola pengemasan pembelajaran yang lebih menganut paham bahwa belajar adalah proses transmisi pengetahuan dari expert ke novice, hanya mengagungkan pada pola pembentukan pola perilaku keseragaman, dengan harapan akan menghasilkan keteraturan, ketertiban, ketaatan, dan kepastian. Kemasan pembelajaran yang kebanyakan bernuansa mengatur kebebasan peserta didik akan menyebabkan peserta didik selalu diliputi rasa takut, kehilangan kebebasan berbuat dan melakukan kontrol diri. Oleh karena selalu berada pada situasi ketakutan, maka peserta didik akan mengembangkan pertahanan diri (Degeng, 2000). Dengan kemasan pembelajaran yang seperti itu, potensi berpikir peserta didik tidak berkembang secara optimal karena terbelenggu oleh proses dehumanisasi, kurang percaya diri dalam menginternalisasi pesan-pesan pembelajaran, lebih banyak belajar cara-cara untuk mempertahankan diri, sering menyembunyikan ketidakmampuannya, yang akhirnya bermuara pada sulitnya pencapaian proses yang pantas bagi peserta didik.

Dalam konteks pembelajaran, guru sejarah harus dapat mengembangkan kemampuan penalaran sejarah peserta didik sebagai dasar untuk menumbuhkan kemampuan berpikir aktif sejarah dan sikap sejarah (Russel, 2008). Penalaran sejarah merupakan kemampuan peserta didik dalam menjelaskan dan membandingkan peristiwa dan perubahan-perubahan yang terjadi. Dalam hal ini peserta didik memiliki kemampuan mengajukan pertanyaan historis, pemanfaatan sumber-sumber historis, kontektualisasi, argumentasi, penggunaan konsep subtansif, dan penggunaan meta-konsep. Melalui kemampuan ini maka upaya untuk menumbuhkan sikap sejarah peserta didik, yaitu cerminan tindakan seseorang yang didasarkan pada nilai guna sejarah dapat dilakukan secara optimal. Meskipun untuk menumbuhkan sikap sejarah tersebut membutuhkan waktu, kesabaran, dan ketelatenan (Havekes, 2010).

Agar pembelajaran sejarah tidak sekedar menekankan pencapaian aspek kognitif melainkan sebagai proses menuju pembentukan aspek afektif, guru sejarah harus dapat menerapkan pendekatan pembelajaran yang dapat mendorong kemampuan penalaran dan kemampuan menemukan masalah. Salah satu pendekatan pembelajaran yang memungkinkan untuk itu adalah pendekatan pembelajaran konstektual (contextual teaching and learning). Contextual Teaching and Learning merupakan penerapan dari hasil penelitian berbasis otak yang menyatakan bahwa pengetahuan dan ketrampilan lebih mudah dipahami dan dikembangkan apabila materi yang dipelajari berkaitan dengan kejadian nyata dan bermakna.

Leave a comment